PUISI TAUFIQ ISMAIL UNTUK MUHAMMADIYAH

PUISI TAUFIQ ISMAIL UNTUK MUHAMMADIYAH
Rasa Syukur dan Doa Bersama
Saudaraku, dapatkah kau bayangkan
Seratus lebih tahun yang lalu masanya
Ada anak muda yang ingin melakukan sesuatu untuk umatnya
Dan dia berbuat
Teman-temannya diajak bersama
Dapatkah kau perkirakan
Bagaimana sederhana kerja yang dimulainya
Betapa bersahaja lingkungan di sekitarnya
Tetapi jejak panjang ribuan kilometer
Dimulai dengan langkah bersama
Dia menghimpun ummat dengan cita-cita yang sama
Tarjih, tajdid, menolong kesengsaraan umum, mencerdaskan bangsa
Betapa bersahajanya
Dia tidak kenal sistem gerakan, organisasi dan kepemimpinan
Dia tidak tau sumber daya, jaringan, aksi, dan pelayanan
Itu teori-teori abad dua puluh satu ini
Di zaman itu belum dilahirkan
Sementara itu, dengan pandangan mata biru
Lihatlah batas pemisahan
Antara garis air dan tanah di bumi terbentang di bawah sana
Lihatlah sungai, pantai, bukit, sawah, ladang, dan pegunungan
Lihatlah kota, kebun-kebun, jalan berliku, sepanjang lautan, garis pelayaran
Semua muncul dengan garis-garis dan bidang begitu banyak warnanya
Yang begitu indahnya
Kata orang itu sekeping sorga
Itu sekeping jannah ke dunia dilemparkan
Organisasi ini seratus tahun kemudian
Memeluk seluruh panorama itu
Dimulai ketika tanah air kita baru di mimpi empat puluh lima puluh juta orang jumlah manusianya
Dan kini begitu membesar
Empat sampai lima kali lipat gandanya
Dahulu masih dalam cengkraman kuku penjajahan begitu lama
Kini sudah berbeda dengan rangkaian pengalaman bahagia dan deritanya
Organisasi ini seratus tahun kemudian bertumbuh
Dan membesar ormasnya
Kemudian mendewasa dengan kekayaan pengalamannya
Lihatlah
Enam ribu taman kanak-kanak
Lima ribu tujuh ratus dua puluh delapan sekolah dasar
Tiga ribu dua ratus dua puluh sembilan SMP
Dua ribu tujuh ratus tujuh puluh enam SMA
Seratus satu SMK
Empat puluh lima mu’allimin dan pesantren
Seratus enam puluh delapan perguruan tinggi
Kemudian, kemudian, tujuh puluh rumah sakit
Dua ratus delapan puluh tujuh BKIA
Tiiga ratus panti yatim piatu
Dan semua ini diurus oleh tiga ribu dua ratus dua puluh satu pengurus cabang
Delapan ribu seratus tujuh pengurus ranting
Kemudian, kemudian, di dunia luar da sana
Di luar Indonesia tiga belas cabangnya
Dan tanah wakaf dua puluh sembilan juta hektar luasnya
Tidak akan terpikirkan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan
Sang pendiri raksasanya ormas ini
Alhamdulillah, alhamdulillah
Fenomena ini sangat pantas
Dengan rasa sangat dalam disyukuri
Betapa lagi luar biasa
Bila diikuti doa
Dua puluh dua juta anggota di seluruh nusantara
Yang membacakan puisi ini
Adalah satu dari yang dua puluh dua juta orang itu
Saya terkenang pada masa masuk sekolah dasar hari-hari pertama
Enam puluh delapan tahun yang lalu
Di Sekolah Rakyat Muhammadiyah dua Surakarta
Ketika itu tentara Jepang menduduki Indonesia tahun pertama
Saya ke sekolah
Lalu diantar ibu saya pagi-pagi
Menyebrang rel kereta api
Lalu menjinjing sabak dan kotak grip kecil bikinan Jepara
Sekali seminggu latihan pandu Hizbul Wathan
HW, pake topi gagah sekali
Saya terkenang ketika saya tamat enam tahun kemudian
Di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Ngupasan Yogyakarta
Tahun sembilan belas empat puluh delapan di zaman revolusi
Di ibukota Republik Indonesia
Terimakasih Muhammadiyah
Guruku di sekolah Muhammadiyah, terima kasih
Pak Solihin, Bu Badriah, terima kasih
Kalian mengajariku ilmu-ilmu
Berhitung, mencongak, ilmu bumi, serta ilmu manusia
Model sebelum masuk kelas
Dipimpin oleh pak Alfian
Satu sekolah berdoa bersama
Tapi
Di Ngupasan
Surat Al Maun yang paling berkesan dari semuanya
Thoamil miskin, thoamil miskin
Memberi makan orang miskin, memberi makan orang miskin
Betapa tertancap dalam
Surat Al Maun
Demikianlah
Ku doakan guru-guru
Guru-guruku itu
Kemudian ku doakan sahabat-sahabat ayah dan ibuku
Buya Hamka, Iktaulik Paradek, kawan sekelas ayah saya
Pak Farid Makruf, di Kauman
Pak Kahar Muzakkir, di Kotagede
Keduanya guru besar yang sederhana
Ibu Zaenab Damiri, Ibuku bersama beliau di Aisyiyah di zamanrevolusi
Kemudian kemudian, ku doakan pula Pak AR Fachruddin
Kyai yang sangat bersahaja
Yang di rumah, yang di halaman rumah beliau
Menjual bensin eceran
Untuk motor mahasiswa
Dan
Ku doakan, ku doakan
Seluruh pemimpin ummat
Tak ku kenal nama dan wajah mereka
Ku doakan persyarikatan ini
Semoga tangguh sebagai bahtera di samudra
Kita semua penumpangnya paham
Ancaman taupan dan gelombang raksasa
Tapi
Selama tauhid berdetak di jantung
Dan berdesah di nafas
Kita gentar tiada
————–
Dibacakan oleh Taufiq Ismail dalam Malam Tasyakuran Muktamar Satu Abad Muhammadiyah
Stadion Mandala Krida Yogyakarta, 3 Juli 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siapa Lagi Yang Ingin Bisa Membaca Qur'an Dengan Memakai Metode Kami?

dampak perkembangan teknologi bagi pendidikan

Pengalaman masa sma